Teori Semiotik dan Psikoanalisis
Makalah
Memenuhi tugas kelompok matakuliah Pengantar Sastra Indonesia
Yang dibina Bapak Maulfi Syaiful Rizal M.Pd
Oleh
Nurul Hidayati (125110706111001)
Malinda Fatmawati (125110701111001)
Maulidia Y (125110700111044)
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Brawijaya
November 2012
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Dalam kajian sastra kemunculan teori
dan pendekatan semiotik karena ketidakpuasan terhadap pendekatan struktural
yang hanya terbatas pada aspek kajian intrinsik saja. Padahal sastra dipandang
mempunyai sistem sendiri tidak terlepas dari masalah penciptaan, ekspresi
penulis, dan masalah penerimaan karya sastra oleh pembaca.
Teori semiotik menganggap karya
sastra sudah memiliki sistem sendiri berupa tanda atau kode. Teori ini juga merupakan perkembangan dari
teori sebelumnya yang diperkuat dengan pendapat Junus (1981:17)
bahwa semiotik itu
merupakan lanjutan atau perkembangan strukturalisme ( Pradopo, 1995:118).
Perdebatan mengenai keterkaitan
antara karya sastra dengan penulisnya sudah lama terjadi. Namun , bagaimana pun
juga karya sastra tidak pernah lepas dari kejiwaan dan subjektifitas
penulisnya. Salah satu teori sastra yang membicarakan keterkaitan antara
sastra dengan kejiwaan penulis adalah psikoanalisis. Namun dalam penerapan
teori psikoanalisis sastra ini bukan hanya psikologi pengarang yang akan
dibahas tetapi juga tokoh di dalam karya
dan pembaca. Dan yang menjadi penekanan adalah psikologis tokoh dalam karya. Ada
tiga alasan mengapa pikologi masuk ke dalam kajian sastra, yaitu.
1. untuk mengetahui perilaku dan motivasi para tokoh dalam karya sastra.
2. untuk mengetahui perilaku dan
motivasi pengarang.
3. untuk mengetahui reaksi
psikologis pembaca.
1.2 Rumusan Masalah
1. Pengertian dan konsep teori semiotik
dan psikoanalisis sastra;
2. Sejarah teori semiotik dan
psikoanalisis sastra;
3. Kegunaan teori semiotik dan
psikoanalisis sastra;
4. Kelebihan dan kekurangan teori
semiotik dan psikoanalisis sastra;
5. Metode penerapan teori semiotik dan
psikoanalisis sastra dalam karya sastra.
1.3 Tujuan
1. Mengetahui Pengertian teori semiotik
dan psikoanalisis sastra;
2. Mengetahui sejarah teori semiotik
dan psikoanalisis sastra;
3. Mengetahui Kegunaan teori semiotik
dan psikoanalisis sastra;
4. Mengetahui Kelebihan dan kekurangan
teori semiotik dan psikoanalisis sastra;
5. Dapat menerapkan teori semiotik dan
psikoanalisis sastra dalam menganalisis karya sastra.
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Teori semiotik
2.1.1
Pengertian Teori Semiotik
Semiotik berasal dari kata Yunani: semeion, yang berarti tanda. Sehingga
semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda. Semiotik mempelajari sistem-sistem,
aturan,-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut
mempunyai arti. Ilmu ini juga menganggap bahwa fenomena sosial atau masyarakat
dan kebudayaan merupakan tanda-tanda
Pradopo (1995:119).
Semiotik
adalah ilmu yang mempelajari tanda-tanda, sistem-sistem tanda,dan proses suatu
tanda diartikan (Hartoko, 1986: 131). Dengan kata lain, ilmuyang mempelajari
berbagai objek, peristiwa, atau seluruh kebudayaan sebagaitanda (Eco, 1979: 6).
Tanda itu sendiri diartikan sebagai sesuatu yang bersifatrepresentatif,
mewakili sesuatu yang lain berdasarkan konvensi tertentu. Konvensiyang
memungkinkan suatu objek, peristiwa, atau gejala kebudayaan menjaditanda itu
disebut juga sebagai kode sosial.
Dalam terminologi sastra teori
semiotik sangat penting karena di sana terdapat penanda (signifier) dan petanda (signified).
Penanda adalah bentuk formal yang menandai sesuatu yang disebut petanda,
sedangkan petanda adalah sesuatu yang ditandai oleh penanda yang dikemukakan
Pradopo (1995:119).
2.1.2 Sejarah Teori Semiotik
Sejarah semiotik telah bermula
sejak zaman Yunani, yaitu pada zaman Plato dan Aristoteles. Kedua tokoh
tersebut telah memulai sebuah teori bahasa dan makna. Namun tidak lama selepas
era tersebut, teori ini dirasakan tidak wajar, lalu kegunaan dan keunggulannya
mula memudar. Pada era modern ilmu ini muncul kembali, dengan tokoh-tokoh
sebagai berikut:
·
C.S PEIRCE
Peirce mengemukakan teori segitiga makna atau triangle meaning yang terdiri
dari tiga elemen utama, yakni tanda (sign), object, dan interpretant.
Tanda
adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera
manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk (merepresentasikan) hal lain di luar
tanda itu sendiri. Tanda menurut Peirce terdiri dari:
1. Ikon adalah tanda yang menunjukkan
adanya hubungan yang bersifat alamiah ntara penanda dan petanda. Hubungan itu
adalah hubungan persamaan, misalnya gambar kuda sebagai penanda yang menandai
kuda (petanda) sebagai artinya. Potret yang menandai yang dipotret, gambar
pohon menandai pohon.
2. Indeks adalah tanda yang menunjukkan
hubungan kausa/(sebab-akibat) antara penanda dan petanda. Misalnya asap
menandai api.
3. Simbol adalah tanda yang menunjukkan
bahwa tidak ada hubungan alamiah antara penanda dan petanda, hubungannya
bersifat arbitrer (mana suka). Arti tanda itu ditentukan oleh konvensi. ‘ibu’
adalah simbol, artinya ditentukan oleh konvensi masyarakat bahasa (Indonesia).
Orang Inggris menyebutnya mother,
Prancis menyebutnya la mere. Adanya
bermacam-macam tanda untuk satu arti menunjukkan ‘kearbitrer’ tersebut. Dalam
bahasa, tanda yang paling banyak digunakan adalah simbol.
Objek atau acuan
tanda adalah konteks sosial yang menjadi referensi dari tanda atau sesuatu yang
dirujuk tanda. Dan Interpretant
atau pengguna tanda adalah konsep pemikiran dari orang yang menggunakan tanda
dan menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna yang ada dalam benak
seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda.Hal yang terpenting dalam
proses semiosis adalah bagaimana makna muncul dari sebuah tanda ketika tanda
itu digunakan orang saat berkomunikasi.
·
FERDINAND DE SAUSSURE
Menurut
Saussure, tanda terdiri dari: Bunyi-bunyian dan gambar, disebut signifier atau
penanda, dan konsep-konsep dari bunyi-bunyian dan gambar, disebut signified.
Dalam berkomunikasi, seseorang menggunakan tanda untuk mengirim
makna tentang objek dan orang lain akan menginterpretasikan tanda tersebut.
Objek bagi Saussure disebut “referent”. Hampir sama dengan Peirce yang mengistilahkan
interpretant untuk signified dan object untuk signifier, bedanya Saussure
memaknai “objek” sebagai referent dan menyebutkannya sebagai unsur tambahan
dalam proses penandaan. Contoh: ketika orang menyebut kata “anjing” (signifier)
dengan nada mengumpat maka hal tersebut merupakan tanda kesialan (signified).
2.1.3 Kegunaan Teori Semiotik
Pendekatan semiotik merupakan sebuah pendekatan yang
memiliki sistem sendiri, berupa sistem tanda atau kode. Tanda dan kode dalam
sastra dapat disebut estetis, yang secara potensial diberikan dalam suatu
komunikasi, baik yang terdapat di dalam struktur maupun luar struktur teks
karya tersebut. Kode yang bersifat tanda itu mempunyai banyak interpretasi
makna dan memiliki pluralitas makna yang luas tergantung tingkat repertoa
pembaca ketika memberi penilaian terhadap teks karya yang dikaji. Setiap
pembaca sastra harus menyadari bahwa sedang berhadapan dengan teks yang berbeda
dengan teks yang lain. Secara spesifik dalam penelitiaan sastra pendekatan
semiotik khusus meneliti sastra yang dipandang memiliki sistem sendiri,
dan sistem itu berurusan dengan masalah
teknik, mekanisme penciptaan, masalah ekspresi dan komunikasi. Dan bila
kajiannya sudah dikaitkan dengan masalah ekspresi dan manusia, bahasa, situasi,
isyarat, stalistika, dan sebagainya, Hal itu sudah mencapai kajiaan semiotik
mengenai aspek eksteristik dan interistik karya sastra.
Teori
semiotik memiliki asumsi bahwa teori ini merupakan sebuah teori yang relevan
pembedahannya untuk menganalisis sebuah karya sampai kepada bahasa kedua pada
dunia
sastra. Yang disana
terdapat bahasa simbolik yang pemaknaannya hanya bisa di pahami dan dibedah
oleh teori ini, bukan hanya itu semiotik merupakan bahasa yang mencerminkan
bahasa sastra yang estetis, sistematis, dan memiliki pluralitas
makna
ketika dibaca oleh pembaca dalam memberi pemahaman terhadap teks karya sastra.
2.1.4 Kelebihan dan Kekurangan Teori Semiotik
·
Pendekatan, metode dan teori semiotik mempunyai kekuatan dan
kelebihan utama dalam membedah karya sastra secara mendalam karena lebih
menyempurnakan teori-teori lain seperti struktural, stilistika, sosiologi dll.
Kemudian analisisnya lebih spesifik dan
komprehensif. Memberikan pemahaman makna dan simbolik baru dalam membaca karya
sastra. Pembaca pun akan mengetahui
minimal dua makna dalam suatu karya yaitu makna bahasa secara tekstualnya dan
makna kedua yakni makna simbolik yang cukup memiliki makna global (pluralitas
makna) sehingga memungkinkan akan tejadi perbedaan asumsi ketika membaca simbol
antara pengarang dan pembaca dalam suatu karya tergantung dari prespektif mana
ia menilai.
·
Kekurangannya ialah pendekatan ini memerlukan banyak
dukungan ilmu bantu yang lain seperti linguistik, sosiologi, psikologi dll, dan
yang paling penting diperlukan kematangan konseptual tentang sastra, wawasan
luas dan teorinya. Peranan peneliti sangat penting, ia harus jeli, teliti dan
menguasai materi yang akan diteliti secara totalitas karena kalau itu tidak
terpenuhi, makna yang ada dalam teks akan kurang tereksplor diketahui oleh
pembaca, bahkan cendrung menggunakan subjektifitasnya yang menamplikan itu
semua yang sangat riskan sekali untuk meneliti dengan teori ini.
2.1.5 Metode PenerapanTeori Semiotik
2.1.5.1 Peneliti harus memiliki
pemahaman tentang karya sastra secara menyeluruh. Tentang wawasan karya sastra
yang akan diteliti, ia harus memiliki pandangan yang tajam terhadap karya
tersebut, dan harus memiliki sensitifitas tinggi, yang merupakan senjata paling
ampuh utama dalam memedah suatu karya dengan menggunakan metode semiotik ini.
2.1.5.2 setelah tahap pertama
dilakukan barulah dilakukan penelitiaan atau analisis yang lebih rinci dan
mendalam menyangkut teknik, style, stalistika, serta kekuatan-kekuatan atau
keistimewaan lain yang menyebabkan karya itu memiliki sistem sendiri.
2.1.5.3 mengaitkan hal-hal yang
berada dalam tubuh struktur karya tersebut dengan sistem yang berada diluar
tubuh struktur tersebut (mengaitkan aspek intrinsik dan ekstrinsik).
2.2 Teori Psikoanalisis
2.2.1 Pengertian Teori Psikoanalisis
Psikologi yang berasal dari kata psyche
yang berarti jiwa, dan logos yang berarti science atau ilmu
mengarahkan perhatiannya pada manusia sebagai obyek studi, terutama dari segi
perilaku (behavior atau action) dan jiwa ( psyche).
Istilah “psikologi sastra” mempunyai
empat kemungkinan pengertian. Yang pertama adalah
studi psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi. Yang kedua adalah
studi proses kreatif. Yang ketiga adalah studi tipe dan hukum-hukum psikologi
yang diterapkan pada karya sastra.Yang keempat adalah mempelajari dampak sastra
pada pembaca. Namun, yang digunakan dalam psikoanalisis adalah
yang ketiga karena sangat berkaitan dalam bidang sastra. Asal usul dan
penciptaan karya sastra dijadikan pegangan dalam penilaian karya sastra itu
sendiri. Jadi psikoanalisis adalah studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang
diterapkan pada karya sastra (Wellek, Warren, 1995:90).
Teori sastra psikoanalisis
menganggap bahwa karya sastra sebagai symptom (gejala) dari pengarangnya. Dalam
pasien histeria gejalanya muncul dalam bentuk gangguan-gangguan fisik,
sedangkan dalam diri sastrawan gejalanya muncul dalam bentuk karya kreatif.
Oleh karena itu, dengan anggapan semacam ini, tokoh-tokoh dalam sebuah novel,
misalnya akan diperlakukan seperti manusia yang hidup di dalam lamunan si
pengarang. Konflik-konflik kejiwaan yang dialami tokoh-tokoh itu dapat
dipandang sebagai pencerminan atau representasi dari konflik kejiwaan
pengarangnya sendiri. Akan tetapi harus diingat, bahwa pencerminan ini berlangsung
secara tanpa disadari oleh si pengarang novel itu sendiri dan sering kali dalam
bentuk yang sudah terdistorsi(memutarbalikan fakta), seperti halnya yang
terjadi dengan mimpi. Dengan kata lain, ketaksadaran pengarang bekerja melalui
aktivitas penciptaan novelnya. Jadi, karya sastra sebenarnya merupakan
pemenuhan secara tersembunyi atas hasrat pengarangnya yang terkekang
(terepresi) dalam ketaksadaran.Tokoh psikologi terkemuka
seperti:
Sigmund freud
Freud adalah tokoh yang paling
banyak memberi sumbangan pemikiran dalam psikologi sastra, dia secara langsung
berbicara tentang proses penciptaan seni sebagai akibat tekanan dan timbunan
masalah di alam bawah sadar yang kemudian dituangkan kedalam bentuk penciptaan
karya seni.
Seniman (termasuk sastrawan) pada
mulanya seorang yang berpaling dari kenyataan hidup karena dia tidak dapat
berdamai dengan dirinya sendiri berhubung adanya tuntutan akan
kepuasan-kepuasan nalurinya yang tidak terpenuhi dan yang kemudian membiarkan
hajat erotik dan ambisinya bermain leluasa dalam khayalan. Dengan bakatnya yang
istimewa dia menjalin khayalan-khayalannya menjadi suatu kenyataan hidup baru
yang oleh orang-orang lain disebut sebagai cerminan hidup yang berharga. Demikianlah
dengan melewati jalan tertentu, seniman itu (termasuk sastrawan) itu menjadi
seorang pahlawan, raja, pencipta, dan tokoh-tokoh lain yang diimpikannya tanpa
harus menempuh liku-liku jalan perubahan hidup lingkungan sekitarnya. (Feud
dalam Hardjana, 1991: 63). Teori psikologis yang dikembangkan oleh Freud ini
dinamakan sebagai “psikoanalisis” dan teori inilah yang banyak diterapkan di
dalam pendekatan psikologis.
1.
Konsep dan Kriteria
Menurut penelitian Freud, di dalam
diri manusia terdapat ‘id, ego, super-ego’. Jika ketiganya
bekerja secara wajar dan seimbang manusia akan memperlihatkan watak yang wajar
pula. Tapi ketiga unsur tersebut tidak bekerja dengan seimbang, inilah puncak
‘peperangan’ yang terus menerus yang terjadi dalam batin manusia dengan
gejala-gejala resah, gelisah, tertekan, dan neurosis yang menghendaki adanya
penyaluran.
Adapun kriteria penelitian sastra
dengan menggunakan pendekatan psikologis antara lain:
1)
Karya sastra yang bermutu menurut pandangan psikologis adalah karya sastra yang
mampu menggambarkan kekuatan dan kekacauan batin manusia
karena hakekat kehidupan manusia itu
adalah perjuangan menghadapi kekalutan batinnya sendiri. Prilaku yang tampak
dalam kehidupan sehari-hari bagi setiap orang belum sepenuhnya menggambarkan
diri mereka masing-masing. Apa yang diperlihatkan belum tentu sama dengan apa
yang sesungguhnya terjadi di dalam dirinya karena manusia seringkali berusaha
menutupinya. Kejujuran, kecintaan, kemunafikan, dan lain-lain, berada di dalam
batin masing-masing orang yang kadang-kadang terlihat gejalanya dari luar dan
kadang-kadang tidak. Oleh sebab itu kajian tentang perwatakan para tokoh harus
menukik ke dalam segi kejiwaan.
2) Kebebasan
individu peneliti sangat dihargai, dan kebebasan mencipta juga mendapat tempat
yang istimewa. Dalam hal ini, sangat dihargai individu yang senantiasa berusaha
mengenal hakikat dirinya. Dalam upaya mengenal dirinya pula sastrawan menciptakan
untuk mengkonkretkan apa yang bergolak di dalam dirinya.
2.2.2 Sejarah Teori
Psikoanalisis
Munculnya
pendekatan psikologi dalam sastra disebabkan oleh meluasnya perkenalan
sarjana-sarjana sastra dengan ajaran-ajaran Freud yang mulai diterbitkan dalam
bahasa Inggris. Yaitu Tafsiran Mimpi ( The Interpretation of Dreams ) danThree
Contributions to A Theory of Sex atau Tiga Sumbangan Pikiran ke Arah Teori Seks
dalam dekade menjelang perang dunia. Pembahasan sastra dilakukan sebagai
eksperimen teknik simbolisme mimpi, pengungkapan aliran kesadaran jiwa, dan
pengertian libido ala Freud menjadi semacam sumber dukungan terhadap
pemberontakan sosial melawan Puritanisme(kerohanian ketat) dan tata cara
Viktorianoisme(pergaulan kaku).Dahulu kejeniusan sastrawan selalu menjadi bahan
pergunjingan. Sejak zaman Yunani, kejeniusan dianggap kegilaan(madness) dari
tingkat neurotik sampai psikosis. Penyair dianggap orang yang kesurupan
(possessed). Ia berbeda dengan yang lainnya, dan dunia bawah sadarnya yang
disampaikan melalui karyanya dianggap berada di bawah tingkat rasional. Namun,
pengarang tidak sekedar mencatat gangguan emosinya ia juga mengolah suatu pola
arketipnya, seperti Dostoyevsky dalam karyanya The Brother Kamarazov atau suatu
pola kepribadian neurotik yang sudah menyebar pada zaman itu. Kemudian, ilmu
tentang emosi dan jiwa itu berkembang dalam penilaian karya
sastra.(Psikoanalisis Sastra).
2.2.3 Kegunaan Teori
Psikoanalisis
Psikologi
atau psikoanalisis dapat mengklasifikasikan pengarang berdasar tipe psikologi
dan fisiologis.
Psikoanalasisis dapat pula menguraikan kelainan jiwa bahkan alam bawah
sadarnya. Bukti-bukti itu diambil dari dokumen di luar karya sastra atau dari
karya sastra itu sendiri. Untuk menginteprestasikan karya sastra sebagai bukti
psikologis, psikolog perlu mencocokannya dengan dokumen-dokumen di luar karya
sastra. Psikoanalisis dapat digunakan untuk menilai karya sastra karena
psikologi dapat menjelaskan proses kreatif. Misalnya, kebiasaan pengarang
merevisi dan menulis kembali karyanya. Yang lebih bermanfaat dalam
psikoanalisis adalah studi mengenai perbaikan naskah, koreksi, dan seterusnya.
Hal itu, berguna karena jika dipakai dengan tepat dapat membantu kita melihat
keretakan ( fissure ), ketidakteraturan, perubahan, dan distorsi yang sangat
penting dalam suatu karya sastra. Psikoanalisis dalam karya sastra berguna
untuk menganalisis secara psikologis tokoh-tokoh dalam drama dan novel. Terkadang
pengarang secara tidak sadar maupun secara sadar dapat memasukan teori
psikologi yang dianutnya. Psikoanalisis juga dapat menganalisis jiwa pengarang
lewat karya sastranya.
Memahami aspek-aspek
kejiwaan yang terkandung dalam karya sastra melalui pemahaman terhadap para
tokoh, misalnya: masyarakat memahami perubahan kontradiksi dan
penyimpangan-penyimpangan lain yang terjadi dalam masyarakat itu. Khususnya
terkait dengan psyche.
2.2.4 Kelebihan dan
Kekurangan Teori Psikoanalisis
Menurut
Atar Semi (1993) timbul kesan bahwa pendekatan ini menjurus kepada pemanfaatan
ilmu jiwa yang rumit, abstrak, dan kompleks. Sekali pun demikian, pendekatan
psikologis menpunyai keunggulan antara lain:
Sangat sesuai untuk mengkaji aspek
perwatakan secara mendalam;
Dengan pendekatan psikologis ini
dapat memberikan umpan balik kepada penulis atau pengarang tentang masalah
perwatakan yang dikembangkannya;
Sangat membantu dalam menganalisis
karya sastra surealis, abstrak, absurd, (dan mungkin yang bersifat fantastik),
dan akhirnya dapat membantu pembaca memahami karya-karya semacam itu.
·
Adapun kelemahannya antara lain:
Menuntut kekayaan pengetahuan, ilmu
jiwa psikologi. Kalau tidak, pendekatan ini sukar untuk dijalankan;
Banyak hal yang abstrak yang sukar
dinalar dan dipecahkan karena keterangan tentang perilaku dan motif tindakan
itu tidak dijelaskan oleh penulis;
Sukar mengetahui kaitan satu tindakan
dengan tindakan lain yang diperlihatkan tokoh karena tokoh itu sendiri ‘mati’,
tidak bisa diwawancarai, sedangkan pengarang-pun seringkali tidak mau
mengomentari karyanya;
Tidak mudah mengetahui apakah
pengalaman yang menimpa tokoh cerita merupakan pengalaman pengarang atau bukan;
Pendekatan ini secara operasional
lebih bisa berjalan apabila pengarang jujur dengan hati nuraninya. Dalam arti
ia memang mengeluarkan segala obsesi yang mengendap di dalam jiwanya kemudian
disalurkan lewat tulisan; tetapi bila pengarang tidak jujur menerapkan
pengalaman batinnya, maka segala macam kajian tentang riwayat hidup pengarang
juga tidak banyak berarti;
Psikoanalisis yang menjadi basis
pendekatan ini sampai sekarang banyak teori yang dikemukakan oleh Freud – tidak
dapat dibuktikan secara saintifik, banyak hal yang sebenarnya merupakan misteri.
·
Disamping kelemahan yang dikemukakan oleh M. Atar semi di
atas sebenarnya pendekatan ini memiliki kekurangan yang mendasar sebagaimana
dikemukakan oleh antara lain: Andre Hardjana (1991) dan Jiwa Atmaja (1986)
bahwa pendekatan psikologis tidak dapat digunakan untuk mengukur nilai karya
sastra. Pendekatan ini hanya cocok dipakai oleh para analis hanya berusaha
mengungkapkan gejolak perasaan pengarang maupun kekacauan batin tokoh-tokoh
dalam cerita (fiksi).
2.2.5 Metode Penerapan Teori
Psikoanalisis
1) Pendekatan psikologis menganalisis keseluruhan
karya sastra baik segi intrinsik maupun segi ekstrinsiknya. Namun menekankan
pada segi intrinsiknya, yaitu dari segi penokohan dan perwatakannya (dalam
fiksi).
2) Segi ekstrinsik yang dipentingkan
untuk dibahas adalah mengenai diri pengarang yang menyangkut masalah kejiwaaan,
cita-cita aspirasi, obsesi, keinginan, falsafah hidup, dan lain-lain. Dalam hal
ini perlu perlu dilacak riwayat hidup pengarang dari masa kecil karena adanya
anggapan bahwa peristiwa kejiwaan dan pengalaman masa kecil akan mempengaruhi
kehidupan, tindakan, dan cara berpikir yang bersangkutan pada masa dewasa.
Dengan memahami segi kejiwaan pengarang, akan sangat membantu dalam memahami
perilaku dan perwatakan tokoh-tokoh cerita yang ditulisnya. Apa yang ditulis
pengarang boleh jadi merupakan tumpukan pengalaman kejiwaan. Dengan demikian,
akan menjadi mudah pula menalarkan segi-segi lain yang ada kaitannya dengan
perilaku dan watak tokoh cerita.
3) Di samping menganalisis penokohan
dan perwatakan, dilakukan pula analisis yang lebih tajam tentang tema utama
karya sastra, karena pada masalah perwatakan dan tema ini pula pendekatan
psikologis sangat tepat diterapkan.
4) Di dalam analisis perwatakan harus
dicari nalar tentang perilaku tokoh. Apakah perilaku tersebut dapat diterima
ditinjau dari segi psikologi. Juga harus dijelaskan motif dan niat yang
mendukung tindakan tersebut. Kalau ada prilaku tokoh yang
berubah
tajam, misalnya sebelumnya brutal kemudian menjadi kalem, maka peneliti mesti
menalarkannya dengan mencari data-data yang diperkirakan dapat mendukung
tindakan tersebut. Dengan begitu, berarti peneliti diminta secara jeli
mengikuti tingkah laku tokoh dari satu peristiwa ke peristiwa lain.
5) Proses penciptaan adalah hal lain
yang harus mendapat perhatian. Harus diketahui apa motif penciptaan. Harus
dilihat apakah penciptaan disebabkan oleh endapan pengalaman batin atau ada
pengalaman atau keinginan-keinginan yang tidak terpenuhi dimana kekecewaan itu
segera tersalurkan lewat jalan menulis. Bisa jadi seorang penulis yang
mempunyai fisik kecil dan lemah akan melampiaskan kekurangan itu dengan
mensublimasikannya dengan jalan menciptakan tokoh yang kekar, keras, dan
perkasa. Dengan demikian segala angan-angan atau obsesi yang menggunung yang
menyebabkan ia mencipta tetapi yang mendorongnya adalah kemampuan imajinasi dan
kebebasan berpikir dan berbicara.
6) Konflik serta kaitannya dengan
perwatakan dan alur cerita harus pula mendapat kajian. Bahkan perlu dijelaskan
perwatakan yang dihinggapi gejala neurosi, psikosis, dan halusinasi. Dalam
menganalisis konflik harus dilihat apakah konflik itu terjadi dalam diri tokoh,
atau konflik dengan tokoh lain atau situasi yang berbeda di luar dirinya.
7) Analisis dapat diteruskan kepada
analisis pengaruh karya sastra terhadap pembaca. Pengaruh yang mesti mendapat
perhatian adalah pengaruh yang menimbulkan kesan mendalam yang menghunjam
sanubari yang pada akhirnya berdampak didaktis pada dirinya. Dalam hal ini sulit
sekali menganalisis kesan pembaca karena wujudnya sangat abstrak.
BAB
3
PENUTUP
3.2 Simpulan
Semiotik
adalah ilmu yang mempelajari tanda-tanda, sistem-sistem tanda, dan proses suatu
tanda diartikan (Hartoko, 1986: 131). Dengan kata lain, ilmu yang mempelajari
berbagai objek, peristiwa, atau seluruh kebudayaan sebagai tanda (Eco, 1979:
6). Tanda itu sendiri diartikan sebagai sesuatu yang bersifat representatif,
mewakili sesuatu yang lain berdasarkan konvensi tertentu. Konvensi yang
memungkinkan suatu objek, peristiwa, atau gejala kebudayaan menjadi tanda itu
disebut juga sebagai kode sosial.
Istilah “psikologi sastra” mempunyai
pengertian studi tipe dan
hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra.Teori sastra psikoanalisis
menganggap bahwa karya sastra sebagai symptom (gejala) dari pengarangnya.
DAFTAR PUSTAKA
Wellek,
Rene danAustin Warren. 1995. Teori
Kesusastraan, (diterjemahkan:
Melani Budianta), Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Pradopo,
Rachmat Djoko. 1995. Beberapa Teori
Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
repository.upi.edu/operator/upload/s_ind_033863_chapter2.pdfdiakses tanggal 31 oktober
2012
1. untuk mengetahui perilaku dan motivasi para tokoh dalam karya sastra.
Peirce mengemukakan teori segitiga makna atau triangle meaning yang terdiri dari tiga elemen utama, yakni tanda (sign), object, dan interpretant.









The Emperor Casino: The History of the - Shootercasino
BalasHapusThe Emperor Casino: 제왕카지노 The History of 인카지노 the Sushi Game. A Japanese take on the Sushi game. Sushi is a unique Japanese Sushi-style game, developed and published 샌즈카지노 by
Hard Rock Casino & Hotel & Resort Atlantic City - Dr. MCD
BalasHapusHard Rock 경상남도 출장안마 Casino & Hotel & 진주 출장마사지 Resort Atlantic City locations, rates, amenities: expert Atlantic City research, only 안성 출장마사지 at Hotel and 태백 출장안마 Travel Index. 시흥 출장안마