Selasa, 30 April 2013

Sarana Sastra



Teori Semiotik dan Psikoanalisis

 

Makalah

Memenuhi tugas kelompok matakuliah Pengantar Sastra Indonesia

Yang dibina Bapak Maulfi Syaiful Rizal M.Pd

 

Oleh

Nurul Hidayati (125110706111001)

Malinda Fatmawati (125110701111001)

Maulidia Y (125110700111044)

 

FIB_UB_putih.jpg

 

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Brawijaya

November 2012

 


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Dalam kajian sastra kemunculan teori dan pendekatan semiotik karena ketidakpuasan terhadap pendekatan struktural yang hanya terbatas pada aspek kajian intrinsik saja. Padahal sastra dipandang mempunyai sistem sendiri tidak terlepas dari masalah penciptaan, ekspresi penulis, dan masalah penerimaan karya sastra oleh pembaca.
Teori semiotik menganggap karya sastra sudah memiliki sistem sendiri berupa tanda atau kode.  Teori ini juga merupakan perkembangan dari teori sebelumnya yang diperkuat dengan pendapat Junus (1981:17) bahwa semiotik itu merupakan lanjutan atau perkembangan strukturalisme ( Pradopo, 1995:118). 
Perdebatan mengenai keterkaitan antara karya sastra dengan penulisnya sudah lama terjadi. Namun , bagaimana pun juga karya sastra tidak pernah lepas dari kejiwaan dan subjektifitas penulisnya. Salah satu teori sastra yang membicarakan keterkaitan antara sastra dengan kejiwaan penulis adalah psikoanalisis. Namun dalam penerapan teori psikoanalisis sastra ini bukan hanya psikologi pengarang yang akan dibahas tetapi juga  tokoh di dalam karya dan pembaca. Dan yang menjadi penekanan adalah psikologis tokoh dalam karya. Ada tiga alasan mengapa pikologi masuk ke dalam kajian sastra, yaitu.
1. untuk mengetahui perilaku dan motivasi para tokoh dalam karya sastra.
2. untuk mengetahui perilaku dan motivasi pengarang.
3. untuk mengetahui reaksi psikologis pembaca.

1.2 Rumusan Masalah
1.      Pengertian dan konsep teori semiotik dan psikoanalisis sastra;
2.      Sejarah teori semiotik dan psikoanalisis sastra;
3.      Kegunaan teori semiotik dan psikoanalisis sastra;
4.      Kelebihan dan kekurangan teori semiotik dan psikoanalisis sastra;
5.      Metode penerapan teori semiotik dan psikoanalisis sastra dalam karya sastra.
1.3 Tujuan
1.      Mengetahui Pengertian teori semiotik dan psikoanalisis sastra;
2.      Mengetahui sejarah teori semiotik dan psikoanalisis sastra;
3.      Mengetahui Kegunaan teori semiotik dan psikoanalisis sastra;
4.      Mengetahui Kelebihan dan kekurangan teori semiotik dan psikoanalisis sastra;
5.      Dapat menerapkan teori semiotik dan psikoanalisis sastra dalam menganalisis karya sastra.









BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Teori semiotik
2.1.1 Pengertian Teori Semiotik
Semiotik berasal dari kata Yunani: semeion, yang berarti tanda. Sehingga semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda. Semiotik mempelajari sistem-sistem, aturan,-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Ilmu ini juga menganggap bahwa fenomena sosial atau masyarakat dan kebudayaan  merupakan tanda-tanda Pradopo (1995:119).
Semiotik adalah ilmu yang mempelajari tanda-tanda, sistem-sistem tanda,dan proses suatu tanda diartikan (Hartoko, 1986: 131). Dengan kata lain, ilmuyang mempelajari berbagai objek, peristiwa, atau seluruh kebudayaan sebagaitanda (Eco, 1979: 6). Tanda itu sendiri diartikan sebagai sesuatu yang bersifatrepresentatif, mewakili sesuatu yang lain berdasarkan konvensi tertentu. Konvensiyang memungkinkan suatu objek, peristiwa, atau gejala kebudayaan menjaditanda itu disebut juga sebagai kode sosial.
Dalam terminologi sastra teori semiotik sangat penting karena di sana terdapat penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda adalah bentuk formal yang menandai sesuatu yang disebut petanda, sedangkan petanda adalah sesuatu yang ditandai oleh penanda yang dikemukakan Pradopo (1995:119).



2.1.2 Sejarah Teori Semiotik
Sejarah semiotik telah bermula sejak zaman Yunani, yaitu pada zaman Plato dan Aristoteles. Kedua tokoh tersebut telah memulai sebuah teori bahasa dan makna. Namun tidak lama selepas era tersebut, teori ini dirasakan tidak wajar, lalu kegunaan dan keunggulannya mula memudar. Pada era modern ilmu ini muncul kembali, dengan tokoh-tokoh sebagai berikut:
·         C.S PEIRCE
Peirce mengemukakan teori segitiga makna atau triangle meaning yang terdiri dari tiga elemen utama, yakni tanda (sign), object, dan interpretant.
peirce1.jpg
Tanda adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk (merepresentasikan) hal lain di luar tanda itu sendiri. Tanda menurut Peirce terdiri dari:
1.      Ikon adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan yang bersifat alamiah ntara penanda dan petanda. Hubungan itu adalah hubungan persamaan, misalnya gambar kuda sebagai penanda yang menandai kuda (petanda) sebagai artinya. Potret yang menandai yang dipotret, gambar pohon menandai pohon.
2.      Indeks adalah tanda yang menunjukkan hubungan kausa/(sebab-akibat) antara penanda dan petanda. Misalnya asap menandai api.

3.      Simbol adalah tanda yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan alamiah antara penanda dan petanda, hubungannya bersifat arbitrer (mana suka). Arti tanda itu ditentukan oleh konvensi. ‘ibu’ adalah simbol, artinya ditentukan oleh konvensi masyarakat bahasa (Indonesia). Orang Inggris menyebutnya mother, Prancis menyebutnya la mere. Adanya bermacam-macam tanda untuk satu arti menunjukkan ‘kearbitrer’ tersebut. Dalam bahasa, tanda yang paling banyak digunakan adalah simbol.
Objek atau acuan tanda adalah konteks sosial yang menjadi referensi dari tanda atau sesuatu yang dirujuk tanda. Dan Interpretant atau pengguna tanda adalah konsep pemikiran dari orang yang menggunakan tanda dan menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda.Hal yang terpenting dalam proses semiosis adalah bagaimana makna muncul dari sebuah tanda ketika tanda itu digunakan orang saat berkomunikasi.

·         FERDINAND DE SAUSSURE
Menurut Saussure, tanda terdiri dari: Bunyi-bunyian dan gambar, disebut signifier atau penanda, dan konsep-konsep dari bunyi-bunyian dan gambar, disebut signified.
saussure1.jpg

Dalam berkomunikasi, seseorang menggunakan tanda untuk mengirim makna tentang objek dan orang lain akan menginterpretasikan tanda tersebut. Objek bagi Saussure disebut “referent”. Hampir sama dengan Peirce yang mengistilahkan interpretant untuk signified dan object untuk signifier, bedanya Saussure memaknai “objek” sebagai referent dan menyebutkannya sebagai unsur tambahan dalam proses penandaan. Contoh: ketika orang menyebut kata “anjing” (signifier) dengan nada mengumpat maka hal tersebut merupakan tanda kesialan (signified).
2.1.3 Kegunaan Teori Semiotik
Pendekatan semiotik merupakan sebuah pendekatan yang memiliki sistem sendiri, berupa sistem tanda atau kode. Tanda dan kode dalam sastra dapat disebut estetis, yang secara potensial diberikan dalam suatu komunikasi, baik yang terdapat di dalam struktur maupun luar struktur teks karya tersebut. Kode yang bersifat tanda itu mempunyai banyak interpretasi makna dan memiliki pluralitas makna yang luas tergantung tingkat repertoa pembaca ketika memberi penilaian terhadap teks karya yang dikaji. Setiap pembaca sastra harus menyadari bahwa sedang berhadapan dengan teks yang berbeda dengan teks yang lain. Secara spesifik dalam penelitiaan sastra pendekatan semiotik khusus meneliti sastra yang dipandang memiliki sistem sendiri, dan  sistem itu berurusan dengan masalah teknik, mekanisme penciptaan, masalah ekspresi dan komunikasi. Dan bila kajiannya sudah dikaitkan dengan masalah ekspresi dan manusia, bahasa, situasi, isyarat, stalistika, dan sebagainya, Hal itu sudah mencapai kajiaan semiotik mengenai aspek eksteristik dan interistik karya sastra.
Teori semiotik memiliki asumsi bahwa teori ini merupakan sebuah teori yang relevan pembedahannya untuk menganalisis sebuah karya sampai kepada bahasa kedua pada

dunia sastra. Yang disana terdapat bahasa simbolik yang pemaknaannya hanya bisa di pahami dan dibedah oleh teori ini, bukan hanya itu semiotik merupakan bahasa yang mencerminkan bahasa sastra yang estetis, sistematis, dan memiliki pluralitas
makna ketika dibaca oleh pembaca dalam memberi pemahaman terhadap teks karya sastra.
2.1.4 Kelebihan dan Kekurangan Teori Semiotik
·         Pendekatan, metode dan teori semiotik mempunyai kekuatan dan kelebihan utama dalam membedah karya sastra secara mendalam karena lebih menyempurnakan teori-teori lain seperti struktural, stilistika, sosiologi dll. Kemudian  analisisnya lebih spesifik dan komprehensif. Memberikan pemahaman makna dan simbolik baru dalam membaca karya sastra. Pembaca pun  akan mengetahui minimal dua makna dalam suatu karya yaitu makna bahasa secara tekstualnya dan makna kedua yakni makna simbolik yang cukup memiliki makna global (pluralitas makna) sehingga memungkinkan akan tejadi perbedaan asumsi ketika membaca simbol antara pengarang dan pembaca dalam suatu karya tergantung dari prespektif mana ia menilai.
·         Kekurangannya ialah pendekatan ini memerlukan banyak dukungan ilmu bantu yang lain seperti linguistik, sosiologi, psikologi dll, dan yang paling penting diperlukan kematangan konseptual tentang sastra, wawasan luas dan teorinya. Peranan peneliti sangat penting, ia harus jeli, teliti dan menguasai materi yang akan diteliti secara totalitas karena kalau itu tidak terpenuhi, makna yang ada dalam teks akan kurang tereksplor diketahui oleh pembaca, bahkan cendrung menggunakan subjektifitasnya yang menamplikan itu semua yang sangat riskan sekali untuk meneliti dengan teori ini.

2.1.5 Metode PenerapanTeori Semiotik

2.1.5.1 Peneliti harus memiliki pemahaman tentang karya sastra secara menyeluruh. Tentang wawasan karya sastra yang akan diteliti, ia harus memiliki pandangan yang tajam terhadap karya tersebut, dan harus memiliki sensitifitas tinggi, yang merupakan senjata paling ampuh utama dalam memedah suatu karya dengan menggunakan metode semiotik ini.
2.1.5.2 setelah tahap pertama dilakukan barulah dilakukan penelitiaan atau analisis yang lebih rinci dan mendalam menyangkut teknik, style, stalistika, serta kekuatan-kekuatan atau keistimewaan lain yang menyebabkan karya itu memiliki sistem sendiri.
2.1.5.3 mengaitkan hal-hal yang berada dalam tubuh struktur karya tersebut dengan sistem yang berada diluar tubuh struktur tersebut (mengaitkan aspek intrinsik dan ekstrinsik).   










2.2 Teori Psikoanalisis
2.2.1 Pengertian Teori Psikoanalisis
Psikologi yang berasal dari kata psyche yang berarti jiwa, dan logos yang berarti science atau ilmu mengarahkan perhatiannya pada manusia sebagai obyek studi, terutama dari segi perilaku (behavior atau action) dan jiwa ( psyche).
Istilah “psikologi sastra” mempunyai empat kemungkinan pengertian. Yang pertama adalah studi psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi. Yang kedua adalah studi proses kreatif. Yang ketiga adalah studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra.Yang keempat adalah mempelajari dampak sastra pada pembaca. Namun, yang digunakan dalam psikoanalisis adalah yang ketiga karena sangat berkaitan dalam bidang sastra. Asal usul dan penciptaan karya sastra dijadikan pegangan dalam penilaian karya sastra itu sendiri. Jadi psikoanalisis adalah studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra (Wellek, Warren, 1995:90).
Teori sastra psikoanalisis menganggap bahwa karya sastra sebagai symptom (gejala) dari pengarangnya. Dalam pasien histeria gejalanya muncul dalam bentuk gangguan-gangguan fisik, sedangkan dalam diri sastrawan gejalanya muncul dalam bentuk karya kreatif. Oleh karena itu, dengan anggapan semacam ini, tokoh-tokoh dalam sebuah novel, misalnya akan diperlakukan seperti manusia yang hidup di dalam lamunan si pengarang. Konflik-konflik kejiwaan yang dialami tokoh-tokoh itu dapat dipandang sebagai pencerminan atau representasi dari konflik kejiwaan pengarangnya sendiri. Akan tetapi harus diingat, bahwa pencerminan ini berlangsung secara tanpa disadari oleh si pengarang novel itu sendiri dan sering kali dalam bentuk yang sudah terdistorsi(memutarbalikan fakta), seperti halnya yang terjadi dengan mimpi. Dengan kata lain, ketaksadaran pengarang bekerja melalui aktivitas penciptaan novelnya. Jadi, karya sastra sebenarnya merupakan pemenuhan secara tersembunyi atas hasrat pengarangnya yang terkekang (terepresi) dalam ketaksadaran.Tokoh psikologi terkemuka seperti:
Sigmund freud
Freud adalah tokoh yang paling banyak memberi sumbangan pemikiran dalam psikologi sastra, dia secara langsung berbicara tentang proses penciptaan seni sebagai akibat tekanan dan timbunan masalah di alam bawah sadar yang kemudian dituangkan kedalam bentuk penciptaan karya seni.
Seniman (termasuk sastrawan) pada mulanya seorang yang berpaling dari kenyataan hidup karena dia tidak dapat berdamai dengan dirinya sendiri berhubung adanya tuntutan akan kepuasan-kepuasan nalurinya yang tidak terpenuhi dan yang kemudian membiarkan hajat erotik dan ambisinya bermain leluasa dalam khayalan. Dengan bakatnya yang istimewa dia menjalin khayalan-khayalannya menjadi suatu kenyataan hidup baru yang oleh orang-orang lain disebut sebagai cerminan hidup yang berharga. Demikianlah dengan melewati jalan tertentu, seniman itu (termasuk sastrawan) itu menjadi seorang pahlawan, raja, pencipta, dan tokoh-tokoh lain yang diimpikannya tanpa harus menempuh liku-liku jalan perubahan hidup lingkungan sekitarnya. (Feud dalam Hardjana, 1991: 63). Teori psikologis yang dikembangkan oleh Freud ini dinamakan sebagai “psikoanalisis” dan teori inilah yang banyak diterapkan di dalam pendekatan psikologis.
1.      Konsep dan Kriteria
Menurut penelitian Freud, di dalam diri manusia terdapat ‘id, ego, super-ego’. Jika ketiganya bekerja secara wajar dan seimbang manusia akan memperlihatkan watak yang wajar pula. Tapi ketiga unsur tersebut tidak bekerja dengan seimbang, inilah puncak ‘peperangan’ yang terus menerus yang terjadi dalam batin manusia dengan gejala-gejala resah, gelisah, tertekan, dan neurosis yang menghendaki adanya penyaluran.
Adapun kriteria penelitian sastra dengan menggunakan pendekatan psikologis antara lain:
1)      Karya sastra yang bermutu menurut pandangan psikologis adalah karya sastra yang mampu menggambarkan kekuatan dan kekacauan batin manusia

karena hakekat kehidupan manusia itu adalah perjuangan menghadapi kekalutan batinnya sendiri. Prilaku yang tampak dalam kehidupan sehari-hari bagi setiap orang belum sepenuhnya menggambarkan diri mereka masing-masing. Apa yang diperlihatkan belum tentu sama dengan apa yang sesungguhnya terjadi di dalam dirinya karena manusia seringkali berusaha menutupinya. Kejujuran, kecintaan, kemunafikan, dan lain-lain, berada di dalam batin masing-masing orang yang kadang-kadang terlihat gejalanya dari luar dan kadang-kadang tidak. Oleh sebab itu kajian tentang perwatakan para tokoh harus menukik ke dalam segi kejiwaan.
2)         Kebebasan individu peneliti sangat dihargai, dan kebebasan mencipta juga mendapat tempat yang istimewa. Dalam hal ini, sangat dihargai individu yang senantiasa berusaha mengenal hakikat dirinya. Dalam upaya mengenal dirinya pula sastrawan menciptakan untuk mengkonkretkan apa yang bergolak di dalam dirinya.

2.2.2 Sejarah Teori Psikoanalisis
Munculnya pendekatan psikologi dalam sastra disebabkan oleh meluasnya perkenalan sarjana-sarjana sastra dengan ajaran-ajaran Freud yang mulai diterbitkan dalam bahasa Inggris. Yaitu Tafsiran Mimpi ( The Interpretation of Dreams ) danThree Contributions to A Theory of Sex atau Tiga Sumbangan Pikiran ke Arah Teori Seks dalam dekade menjelang perang dunia. Pembahasan sastra dilakukan sebagai eksperimen teknik simbolisme mimpi, pengungkapan aliran kesadaran jiwa, dan pengertian libido ala Freud menjadi semacam sumber dukungan terhadap pemberontakan sosial melawan Puritanisme(kerohanian ketat) dan tata cara Viktorianoisme(pergaulan kaku).Dahulu kejeniusan sastrawan selalu menjadi bahan pergunjingan. Sejak zaman Yunani, kejeniusan dianggap kegilaan(madness) dari tingkat neurotik sampai psikosis. Penyair dianggap orang yang kesurupan (possessed). Ia berbeda dengan yang lainnya, dan dunia bawah sadarnya yang disampaikan melalui karyanya dianggap berada di bawah tingkat rasional. Namun, pengarang tidak sekedar mencatat gangguan emosinya ia juga mengolah suatu pola arketipnya, seperti Dostoyevsky dalam karyanya The Brother Kamarazov atau suatu pola kepribadian neurotik yang sudah menyebar pada zaman itu. Kemudian, ilmu tentang emosi dan jiwa itu berkembang dalam penilaian karya sastra.(Psikoanalisis Sastra).
2.2.3 Kegunaan Teori Psikoanalisis
Psikologi atau psikoanalisis dapat mengklasifikasikan pengarang berdasar tipe psikologi dan fisiologis. Psikoanalasisis dapat pula menguraikan kelainan jiwa bahkan alam bawah sadarnya. Bukti-bukti itu diambil dari dokumen di luar karya sastra atau dari karya sastra itu sendiri. Untuk menginteprestasikan karya sastra sebagai bukti psikologis, psikolog perlu mencocokannya dengan dokumen-dokumen di luar karya sastra. Psikoanalisis dapat digunakan untuk menilai karya sastra karena psikologi dapat menjelaskan proses kreatif. Misalnya, kebiasaan pengarang merevisi dan menulis kembali karyanya. Yang lebih bermanfaat dalam psikoanalisis adalah studi mengenai perbaikan naskah, koreksi, dan seterusnya. Hal itu, berguna karena jika dipakai dengan tepat dapat membantu kita melihat keretakan ( fissure ), ketidakteraturan, perubahan, dan distorsi yang sangat penting dalam suatu karya sastra. Psikoanalisis dalam karya sastra berguna untuk menganalisis secara psikologis tokoh-tokoh dalam drama dan novel. Terkadang pengarang secara tidak sadar maupun secara sadar dapat memasukan teori psikologi yang dianutnya. Psikoanalisis juga dapat menganalisis jiwa pengarang lewat karya sastranya.
Memahami aspek-aspek kejiwaan yang terkandung dalam karya sastra melalui pemahaman terhadap para tokoh, misalnya: masyarakat memahami perubahan kontradiksi dan penyimpangan-penyimpangan lain yang terjadi dalam masyarakat itu. Khususnya terkait dengan psyche.


2.2.4 Kelebihan dan Kekurangan Teori Psikoanalisis
Menurut Atar Semi (1993) timbul kesan bahwa pendekatan ini menjurus kepada pemanfaatan ilmu jiwa yang rumit, abstrak, dan kompleks. Sekali pun demikian, pendekatan psikologis menpunyai keunggulan antara lain:
*       
Sangat sesuai untuk mengkaji aspek perwatakan secara mendalam;
*      Dengan pendekatan psikologis ini dapat memberikan umpan balik kepada penulis atau pengarang tentang masalah perwatakan yang dikembangkannya;
*               Sangat membantu dalam menganalisis karya sastra surealis, abstrak, absurd, (dan mungkin yang bersifat fantastik), dan akhirnya dapat membantu pembaca memahami karya-karya semacam itu.
·         Adapun kelemahannya antara lain:
*               Menuntut kekayaan pengetahuan, ilmu jiwa psikologi. Kalau tidak, pendekatan ini sukar untuk dijalankan;
*               Banyak hal yang abstrak yang sukar dinalar dan dipecahkan karena keterangan tentang perilaku dan motif tindakan itu tidak dijelaskan oleh penulis;
*               Sukar mengetahui kaitan satu tindakan dengan tindakan lain yang diperlihatkan tokoh karena tokoh itu sendiri ‘mati’, tidak bisa diwawancarai, sedangkan pengarang-pun seringkali tidak mau mengomentari karyanya;
*               Tidak mudah mengetahui apakah pengalaman yang menimpa tokoh cerita merupakan pengalaman pengarang atau bukan;
*               Pendekatan ini secara operasional lebih bisa berjalan apabila pengarang jujur dengan hati nuraninya. Dalam arti ia memang mengeluarkan segala obsesi yang mengendap di dalam jiwanya kemudian disalurkan lewat tulisan; tetapi bila pengarang tidak jujur menerapkan pengalaman batinnya, maka segala macam kajian tentang riwayat hidup pengarang juga tidak banyak berarti;
*               Psikoanalisis yang menjadi basis pendekatan ini sampai sekarang banyak teori yang dikemukakan oleh Freud – tidak dapat dibuktikan secara saintifik, banyak hal yang sebenarnya merupakan misteri.

·         Disamping kelemahan yang dikemukakan oleh M. Atar semi di atas sebenarnya pendekatan ini memiliki kekurangan yang mendasar sebagaimana dikemukakan oleh antara lain: Andre Hardjana (1991) dan Jiwa Atmaja (1986) bahwa pendekatan psikologis tidak dapat digunakan untuk mengukur nilai karya sastra. Pendekatan ini hanya cocok dipakai oleh para analis hanya berusaha mengungkapkan gejolak perasaan pengarang maupun kekacauan batin tokoh-tokoh dalam cerita (fiksi).

2.2.5 Metode Penerapan Teori Psikoanalisis

1)      Pendekatan psikologis menganalisis keseluruhan karya sastra baik segi intrinsik maupun segi ekstrinsiknya. Namun menekankan pada segi intrinsiknya, yaitu dari segi penokohan dan perwatakannya (dalam fiksi).

2)      Segi ekstrinsik yang dipentingkan untuk dibahas adalah mengenai diri pengarang yang menyangkut masalah kejiwaaan, cita-cita aspirasi, obsesi, keinginan, falsafah hidup, dan lain-lain. Dalam hal ini perlu perlu dilacak riwayat hidup pengarang dari masa kecil karena adanya anggapan bahwa peristiwa kejiwaan dan pengalaman masa kecil akan mempengaruhi kehidupan, tindakan, dan cara berpikir yang bersangkutan pada masa dewasa. Dengan memahami segi kejiwaan pengarang, akan sangat membantu dalam memahami perilaku dan perwatakan tokoh-tokoh cerita yang ditulisnya. Apa yang ditulis pengarang boleh jadi merupakan tumpukan pengalaman kejiwaan. Dengan demikian, akan menjadi mudah pula menalarkan segi-segi lain yang ada kaitannya dengan perilaku dan watak tokoh cerita.

3)      Di samping menganalisis penokohan dan perwatakan, dilakukan pula analisis yang lebih tajam tentang tema utama karya sastra, karena pada masalah perwatakan dan tema ini pula pendekatan psikologis sangat tepat diterapkan.

4)      Di dalam analisis perwatakan harus dicari nalar tentang perilaku tokoh. Apakah perilaku tersebut dapat diterima ditinjau dari segi psikologi. Juga harus dijelaskan motif dan niat yang mendukung tindakan tersebut. Kalau ada prilaku tokoh yang

berubah tajam, misalnya sebelumnya brutal kemudian menjadi kalem, maka peneliti mesti menalarkannya dengan mencari data-data yang diperkirakan dapat mendukung tindakan tersebut. Dengan begitu, berarti peneliti diminta secara jeli mengikuti tingkah laku tokoh dari satu peristiwa ke peristiwa lain.

5)      Proses penciptaan adalah hal lain yang harus mendapat perhatian. Harus diketahui apa motif penciptaan. Harus dilihat apakah penciptaan disebabkan oleh endapan pengalaman batin atau ada pengalaman atau keinginan-keinginan yang tidak terpenuhi dimana kekecewaan itu segera tersalurkan lewat jalan menulis. Bisa jadi seorang penulis yang mempunyai fisik kecil dan lemah akan melampiaskan kekurangan itu dengan mensublimasikannya dengan jalan menciptakan tokoh yang kekar, keras, dan perkasa. Dengan demikian segala angan-angan atau obsesi yang menggunung yang menyebabkan ia mencipta tetapi yang mendorongnya adalah kemampuan imajinasi dan kebebasan berpikir dan berbicara.

6)      Konflik serta kaitannya dengan perwatakan dan alur cerita harus pula mendapat kajian. Bahkan perlu dijelaskan perwatakan yang dihinggapi gejala neurosi, psikosis, dan halusinasi. Dalam menganalisis konflik harus dilihat apakah konflik itu terjadi dalam diri tokoh, atau konflik dengan tokoh lain atau situasi yang berbeda di luar dirinya.

7)      Analisis dapat diteruskan kepada analisis pengaruh karya sastra terhadap pembaca. Pengaruh yang mesti mendapat perhatian adalah pengaruh yang menimbulkan kesan mendalam yang menghunjam sanubari yang pada akhirnya berdampak didaktis pada dirinya. Dalam hal ini sulit sekali menganalisis kesan pembaca karena wujudnya sangat abstrak.

























BAB 3
PENUTUP
3.2 Simpulan  
Semiotik adalah ilmu yang mempelajari tanda-tanda, sistem-sistem tanda, dan proses suatu tanda diartikan (Hartoko, 1986: 131). Dengan kata lain, ilmu yang mempelajari berbagai objek, peristiwa, atau seluruh kebudayaan sebagai tanda (Eco, 1979: 6). Tanda itu sendiri diartikan sebagai sesuatu yang bersifat representatif, mewakili sesuatu yang lain berdasarkan konvensi tertentu. Konvensi yang memungkinkan suatu objek, peristiwa, atau gejala kebudayaan menjadi tanda itu disebut juga sebagai kode sosial.
Istilah “psikologi sastra” mempunyai pengertian studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra.Teori sastra psikoanalisis menganggap bahwa karya sastra sebagai symptom (gejala) dari pengarangnya.










DAFTAR PUSTAKA
Wellek, Rene danAustin Warren. 1995. Teori Kesusastraan, (diterjemahkan: Melani Budianta), Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Pradopo, Rachmat Djoko. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
repository.upi.edu/operator/upload/s_ind_033863_chapter2.pdfdiakses tanggal 31 oktober 2012

Furkon. 2010. Teori Semiotik Dalam Terminologi Sastra, [online], tersedia: http://sosbud.kompasiana.com/2011/06/20/teori-semiotik-dalam-terminologi-sastra/, diakses tanggal 31 Oktober 2012

Adiputra, Sofyan. 2012. TEORI KEPRIBADIAN PSIKOANALISIS : Sigmun Freud, [online], tersedia: http://bkpemula.wordpress.com/2012/01/31/teori-kepribadian-psikoanalisis-sigmun-freud/, diakses tanggal 31 Oktober 2012

Sartini, Ni Wayan. ­­-----, Tinjauan Teoritik tentang Semiotik, ----- [online], tersedia: journal.unair.ac.id/.../Tinjauan%20Teoritik%20tentang%20Semiotik. Diakses tanggal 31 Oktober 2012

 



 

 

 

 

 



2 komentar:

  1. The Emperor Casino: The History of the - Shootercasino
    The Emperor Casino: 제왕카지노 The History of 인카지노 the Sushi Game. A Japanese take on the Sushi game. Sushi is a unique Japanese Sushi-style game, developed and published 샌즈카지노 by

    BalasHapus
  2. Hard Rock Casino & Hotel & Resort Atlantic City - Dr. MCD
    Hard Rock 경상남도 출장안마 Casino & Hotel & 진주 출장마사지 Resort Atlantic City locations, rates, amenities: expert Atlantic City research, only 안성 출장마사지 at Hotel and 태백 출장안마 Travel Index. 시흥 출장안마

    BalasHapus